30/11/2010 | 23 Zulhijjah 1431 H | Hits: 227
Oleh: Farah Anindya Maharani
dakwatuna.com
Kamis, 25 November 2010
Kepada Yth.
Ibu Guru
di
Nusantara
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh
Bu,

Bu,
Ibulah Daedalus, sang tokoh dalam mitologi para Yunani, yang membuatkan sayap dari halaman-halaman buku dan lelehan lilin, untuk putranya Icarus,agar ia bisa terbang dan mengejar matahari.Icarus memang jatuh. Jatuh dan mati. Tapi aku tahu bahwa aku tak akan bernasib sama. Karena Ibu bukan hanya Daedalus. Ibu adalah sayap-sayap itu, sepasang sayap yang tak akan membiarkanku jatuh.Aku tak hanya akan mengejar matahari. Aku tak hanya akan menangkap bintang-bintang. Aku akan menjadi bintang itu sendiri, agar ibu tahu,ada satu bintang yang bersinar karena Ibu, bersinar hanya untuk Ibu.Bahwa bintang yang berkelap-kelip di atas sana itu, tak akan ada jika bukan karena Ibu. Aneh bukan? Bagiku mempercayai orang lain adalah sesuatu yang sulit. Maka, aku tak pernah bisa ’benar-benar percaya’ kepada seseorang. Tapi Ibu berbeda. Aku dapat dengan mudah mempercayai Ibu. Karena Ibu tak pernah menyerah menghadapiku. Ibu tak akan pernah pudar. Dan aku tahu bahwa ibu juga percaya padaku.
Bu,
Aku hanya ingin bilang terima kasih. Terima kasih karena sudah sabar menghadapiku. Terima kasih karena sudah mau dengar apa saranku. Terima kasih karena sudah mengerti aku. Terima kasih karena sudah mau melihat dari sudut pandangku, dari kacamata buram seorang anak kecil. Terima kasih karena sudah membuatku percaya pada Ibu. Terima kasih karena sudah menjadi sayap yang membawaku terbang, dan menangkapku, ketika aku jatuh.Tapi aku juga ingin minta maaf. Karena surat ini, telah ditulis dari mata seorang bocah dua belas tahun. Tanpa kalimat-kalimat para penyair. Tanpa puji-pujian setinggi langit biru di atas kepala kita. Karena ini surat dariku. Surat seorang bocah dua belas tahun, yang hanya ingin berterimakasih pada gurunya.
Bu,
Maafkan aku ya, Bu. Karena aku bukan murid sempurna, putih tanpa dosa. Karena aku, telah berjuta kali membuatmu lelah, membuatmu bingung dan putus asa.
Aku ingin buat Ibu bangga. Aku ingin Ibu melihatku, satu hari nanti, dan berkata, ”Itulah muridku.”
Dan Ibu akan tersenyum, tersenyum karenaku, dan melambai padaku dengan caramu. Menatapku dengan sorot mata itu, sorot mata yang mengatakan ’aku bangga padamu’ ketika aku akhirnya meraih puncak tertinggi.
Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Ibu telah mengajariku itu dari dulu. Ibu memberitahuku bahwa tak ada cita-cita yang terlalu tinggi. Jika aku memanjat dan belum sampai juga ke cita-citaku, boleh kan aku pakai tangga, Bu?
Bu,
aku janji. Kalau nanti aku berhasil jadi dokter, itu semua karena Ibu. Jadi Ibu tinggal datang ke klinikku dan bilang namaku, dan aku akan mengobati Ibu dengan senang hati (Tentu lebih baik kalau Ibu sehat selalu, tapi aku akan tetap pegang janjiku).
Karena tanpa Ibu, aku tak akan jadi siapa-siapa, tak akan mungkin bisa menulis surat ini.
Meski aku bukan murid sempurna. Bukan murid impian semua guru. Meski aku bandel, pemberontak,
Bukan gadis sempurna, yang duduk diam, dengar apa kata gurunya.
Magister bonus habeo.
Aku punya guru yang sempurna.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Muridmu,
Farah Anindya Maharani
No comments:
Post a Comment